Ekonomi Jepang mencatat pertumbuhan 0,3% pada kuartal II 2025 dibandingkan tiga bulan pertama tahun ini, melampaui perkiraan meskipun menghadapi tekanan tarif dari Amerika Serikat. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal I yang direvisi menjadi 0,1%, serta melebihi proyeksi ekonom Reuters yang hanya memperkirakan kenaikan 0,1%.
Pertumbuhan ini terutama didorong oleh ketangguhan sektor ekspor, yang menyumbang 0,3 poin persentase terhadap PDB, berbalik dari kontraksi 0,8% pada kuartal I. Kementerian Perdagangan Jepang mencatat defisit perdagangan dari April hingga Juni menyempit dibandingkan kuartal sebelumnya.
Secara tahunan, PDB Jepang tumbuh 1,2% pada kuartal II—lebih rendah dari pertumbuhan 1,8% di kuartal I. Pertumbuhan tahunan yang disetahunkan (annualized growth) mencapai 1%, lebih dari dua kali lipat proyeksi 0,4%. Pasar saham merespons positif: indeks acuan Nikkei 225 naik 0,59%, sementara yen menguat tipis 0,1% ke level 147,6 per dolar AS.
Tantangan Tarif dan Perdagangan
Kuartal II berlangsung di tengah ketidakpastian perdagangan. Kesepakatan dagang baru dengan AS baru tercapai pada 23 Juli 2025. Berdasarkan kesepakatan tersebut, seluruh ekspor Jepang ke AS dikenakan tarif umum 15%, termasuk mobil. Sebelumnya, Jepang terhindar dari tarif 24% yang diumumkan pada “Liberation Day,” tetapi sektor otomotif tetap terkena bea masuk 25%.
Ekspor mobil ke AS merupakan pilar utama ekonomi Jepang, menyumbang 28,3% dari total pengiriman pada 2024.
Marcel Theliant, Kepala Asia Pasifik di Capital Economics, menilai Jepang mampu “mengabaikan” dampak tarif AS sejauh ini. Namun, ia memperingatkan kemungkinan perlambatan kembali di kuartal-kuartal mendatang akibat melemahnya belanja investasi dan sedikit penurunan ekspor.
Prospek Ekonomi dan Risiko Resesi
Bank of Japan (BoJ) pada 31 Juli 2025 menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 0,6% untuk tahun fiskal 2025 (April 2025–Maret 2026), dari sebelumnya 0,5%. Namun, BoJ mengingatkan bahwa kebijakan perdagangan global dapat memperlambat perekonomian luar negeri dan menekan laba perusahaan domestik.
Masato Koike, Ekonom Senior di Sompo Institute Plus, menyebut ada “rasa stagnasi yang kuat” ke depan. Menurutnya, konsumsi pribadi kemungkinan masih tumbuh seiring pemulihan upah riil, namun tren ini bisa singkat jika tarif berdampak pada bonus dan kenaikan gaji di 2026.
Koike juga menilai meskipun permintaan untuk investasi digital dan penghematan tenaga kerja tetap tinggi, penurunan laba perusahaan akibat tarif berpotensi memberi tekanan besar pada investasi modal. Bahkan, jika dampak tarif signifikan, Jepang berisiko masuk ke resesi.
#FlashNews##BankofJapan##indonesia##Japan#
风险提示:本文所述仅代表作者个人观点,不代表 Followme 的官方立场。Followme 不对内容的准确性、完整性或可靠性作出任何保证,对于基于该内容所采取的任何行为,不承担任何责任,除非另有书面明确说明。
加载失败()