Pada perdagangan Jumat, 26 September 2025, nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan terhadap dolar AS. Pada pembukaan perdagangan rupiah tercatat di sekitar Rp16.775/US$, melanjutkan tekanan yang membuat mata uang domestik bergerak pada kisaran Rp16.600–Rp16.800 dalam beberapa hari terakhir. Pelemahan ini merupakan kelanjutan dari fluktuasi beberapa pekan terakhir di mana rupiah sempat bergerak lebih kuat pada pertengahan bulan tetapi kembali mengalami tekanan menjelang akhir September.
Indeks Dolar AS, yang melacak nilai tukar greenback terhadap enam mata uang utama, bertahan di atas level 97,00 didorong oleh data ekonomi Amerika Serikat yang solid. Kondisi ini memperlihatkan kekuatan dolar di pasar global dan menambah tekanan pada rupiah yang terus bergejolak. Sejumlah ekonom mewaspadai potensi pelemahan rupiah hingga menembus Rp17.000 per dolar AS pada Oktober mendatang apabila tekanan eksternal tidak mereda.
Faktor Eksternal Dorong Penguatan Dolar
Penguatan dolar AS yang signifikan belakangan ini tidak terlepas dari berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi pasar valuta asing global. Tekanan geopolitik dan kondisi ekonomi Amerika Serikat menjadi pendorong utama penguatan greenback terhadap rupiah.
Kinerja Ekonomi AS Dorong Penguatan Greenback
Pendukung utama penguatan dolar adalah kinerja ekonomi AS yang tetap solid. Revisi data PDB kuartal II-2025 yang menunjukkan pertumbuhan lebih kuat dari perkiraan awal menjadi katalis utama penguatan greenback.
Penguatan dolar juga ditopang oleh imbal hasil US Treasury yang tetap kompetitif. Meskipun The Fed telah memangkas suku bunga, pasar terus memantau sikap bank sentral AS yang tetap berhati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut.
Ekspektasi Pasar Terhadap Kebijakan The Fed
Pada 18 September 2025, The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 bps ke level 4,00-4,25%. Meski demikian, Ketua The Fed, Jerome Powell, memberikan sinyal kehati-hatian mengenai pelonggaran lebih lanjut, menegaskan bahwa pemangkasan suku bunga terbaru bukanlah sinyal untuk pemotongan lebih lanjut secara agresif.
Para pejabat The Fed sendiri memberikan pandangan beragam. Sementara beberapa mendukung pemangkasan untuk menjaga pasar tenaga kerja tetap solid, yang lain mengingatkan bahwa inflasi masih di atas target, sehingga pelonggaran tidak boleh dilakukan terlalu agresif.
Gejolak Ekonomi Global dan Ketegangan Geopolitik
Ketegangan geopolitik global terus menjadi salah satu pemicu utama penguatan dolar AS. Konflik yang berlangsung di berbagai wilayah dunia menciptakan ketidakpastian di pasar global. Salah satunya meningkatnya tensi di Eropa setelah Presiden AS Donald Trump memperingatkan negara-negara Eropa agar tidak terus membeli minyak dari Rusia yang semakin menambah ketidakpastian pasar. Meski belum ada langkah konkret, retorika tersebut memicu kekhawatiran potensi sanksi baru yang dapat mengganggu ekspor energi Rusia atau memicu balasan berupa pengurangan pasokan oleh Moskow. Hal ini mendorong investor mencari aset seperti dolar AS sebagai pilihan utama.
Analisis Dampak Pelemahan Rupiah
Dampak pada Sektor Usaha dan Industri
Pelemahan rupiah berdampak langsung pada sektor usaha yang mengandalkan impor bahan baku. Kenaikan biaya produksi dapat berpotensi mendorong inflasi jika diteruskan kepada konsumen. Di sisi lain, eksportir mendapat keuntungan dari nilai rupiah yang lebih lemah, meskipun hal ini mungkin diimbangi dengan kenaikan biaya impor komponen.
Dampak pada Kebijakan Moneter
Bank Indonesia (BI) menghadapi dilema antara menjaga stabilitas nilai tukar dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Penurunan suku bunga acuan BI ke 4,75% menunjukkan prioritas pada pertumbuhan ekonomi, meskipun berisiko memberikan tekanan tambahan pada rupiah.
Dampak pada Investasi dan Arus Modal
Pelemahan valas jangka pendek dapat mereduksi kepercayaan investor portofolio; namun jika fundamental dan kebijakan makro terkendali, investor jangka panjang bisa tetap tertarik pada pasar domestik.
Langkah Strategis BI Hadapi Gejolak Nilai Tukar
Bank Indonesia (BI) terus mengambil sikap tegas dalam menghadapi tekanan mata uang rupiah. BI telah mengurangi suku bunga acuannya menjadi 4,75% pada September 2025, menurunkan 25 basis poin dari level sebelumnya 5,00%. Ini merupakan pemotongan suku bunga keenam sejak September 2024, mengindikasikan upaya bank sentral untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan global.
Intervensi Pasar Domestik dan Internasional
Menghadapi gejolak nilai tukar, BI melaksanakan intervensi di berbagai pasar. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa pergerakan rupiah terhadap dolar masih terkendali, dan bank sentral akan terus melakukan intervensi untuk menstabilkan mata uang.
BI menerapkan strategi triple intervention yang mencakup:
- Optimalisasi transaksi di pasar spot.
- Penguatan Domestic NDF (DNDF).
- Pembelian SBN di pasar sekunder.
Ajakan BI Kepada Pelaku Pasar untuk Jaga Stabilitas dan Evaluasi Kebijakan Fiskal
BI terus mengajak seluruh pelaku pasar untuk bersama-sama menjaga iklim keuangan yang kondusif. Kerja sama ini sangat penting agar stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga dengan baik.
Parlemen telah menyetujui anggaran 2026 dengan defisit 2,68% dari PDB, lebih tinggi dari 2,48% yang diusulkan sebelumnya namun tetap di bawah perkiraan tahun ini sebesar 2,78%. Kebijakan fiskal Indonesia bersifat countercyclical, diarahkan untuk mendorong permintaan agregat saat ekonomi melemah dan menahan laju inflasi ketika ekonomi mengalami overheating.
Prospek Nilai Tukar Rupiah
Proyeksi Jangka Pendek
Berdasarkan model ekonomi makro global dan ekspektasi analis, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp16.660–Rp16.700 per dolar AS pada akhir kuartal ini. Arah jangka pendek akan sangat ditentukan oleh data ekonomi Amerika Serikat, khususnya inflasi PCE dan klaim pengangguran, serta respons pasar terhadap kebijakan The Fed. Di sisi domestik, efektivitas intervensi BI dan koordinasi kebijakan fiskal–moneter akan menjadi faktor kunci.
Proyeksi Jangka Menengah hingga Panjang
Dalam 12 bulan ke depan, rupiah diperkirakan akan diperdagangkan di level 16.723,89. Meski tekanan eksternal diperkirakan berlanjut, pasar menilai potensi pelemahan akan terbatas dan tidak mengarah pada depresiasi tajam, sejalan dengan fundamental domestik yang relatif terjaga.
Kesimpulan
Rupiah masih berada di bawah tekanan terhadap dolar AS dengan pergerakan di kisaran Rp16.600–Rp16.800, mencerminkan volatilitas tinggi menjelang akhir September. Tekanan ini terutama dipengaruhi oleh penguatan dolar AS akibat data ekonomi Amerika yang solid serta sikap The Fed yang tetap berhati-hati.
Risiko jangka pendek muncul dari potensi rilis data inflasi PCE dan ketenagakerjaan AS yang bisa memperkuat ekspektasi kebijakan moneter ketat, sehingga menekan rupiah lebih lanjut hingga mendekati Rp17.000 per dolar AS.
Meskipun BI menurunkan suku bunga acuan untuk mendukung pertumbuhan, bank sentral tetap berkomitmen menjaga stabilitas rupiah melalui strategi triple intervention. Dukungan kebijakan fiskal yang hati-hati dengan defisit terkendali turut menjadi pilar penting dalam menjaga ketahanan ekonomi.
Dalam 12 bulan ke depan, rupiah diperkirakan masih tertekan namun pelemahannya terbatas. Hal ini memberi optimisme bahwa dengan koordinasi kebijakan yang tepat antara BI, pemerintah, dan pelaku pasar, stabilitas nilai tukar tetap terjaga.
Ketahanan ekonomi Indonesia pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan menghadapi tekanan global sambil menjaga fundamental domestik. Inflasi yang terkendali di sekitar 2,3% dan upaya pemerintah mendorong pertumbuhan menjadi modal penting menghadapi gejolak nilai tukar.
风险提示:本文所述仅代表作者个人观点,不代表 Followme 的官方立场。Followme 不对内容的准确性、完整性或可靠性作出任何保证,对于基于该内容所采取的任何行为,不承担任何责任,除非另有书面明确说明。
加载失败()