Pasardana.id - Laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis World Bank atau Bank Dunia pada April 2025, menyebutkan, bahwa 60,3 persen masyarakat Indonesia masih dalam kategori miskin.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti pun mengajak semua pihak menanggapinya dengan bijak.
Karena menurut dia, laporan itu menggunakan standar internasional yang tidak serta-merta berlaku di semua negara.
Dia mengatakan, standar garis kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia sebesar 6,85 dolar Amerika Serikat per kapita per hari didasarkan pada purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli tahun 2017.
Standar tersebut juga untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas.
“Sebagai informasi, yang digunakan standar oleh Bank Dunia dan memperoleh data 60,3 persen itu adalah dengan standar upper-middle class,” ujar Amalia di Jakarta, dikutip Kamis (1/5).
Ia pun menambahkan, masing-masing negara memiliki standar yang diukur sesuai dengan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut.
Indonesia juga menggunakan garis kemiskinan nasional yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing provinsi.
“Sehingga waktu kita menghitung angka kemiskinan, basisnya bukan national poverty line, tapi angka kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian kita agregasi jadi angka nasional,” ucapnya.
Menurut Amalia, standar hidup antardaerah sangat bervariasi.
Oleh karena itu, penting untuk menyesuaikan perhitungan kemiskinan secara lokal.
“Dengan demikian, kita bisa menunjukkan, standar hidup di provinsi DKI tidak akan sama dengan standar hidup misalnya di Papua Selatan. Provinsi DKI dan Papua Selatan memiliki garis kemiskinan yang berbeda,” kata Amalia.
Karena itu, Amalia kembali mengajak semua pihak untuk memahami konteks laporan Bank Dunia secara bijak.
“Mari kita lebih bijak memaknai dan memahami angka kemiskinan Bank Dunia karena itu bukanlah sesuatu keharusan kita menerapkan, itu hanya referensi saja,” tukasnya.
加载失败()