Rupiah Sedikit Pulih namun Masih Tertekan, Sentimen Tarif AS dan Risalah FOMC Jadi Sorotan

avatar
· 阅读量 129
  • Rupiah pulih tipis ke level Rp16.254, sejauh ini masih dalam tren pelemahan.
  • Trump kenakan tarif 32% pada Indonesia, negosiasi masih terbuka, tapi ada ancaman tambahan 10% pada anggota BRICS.
  • Pasar tunggu risalah FOMC, fokus pada arah suku bunga The Fed, di tengah kekhawatiran inflasi dan ketegangan dagang global

Nilai tukar Rupiah Indonesia (IDR) terhadap Dolar AS (USD) sedikit pulih ke level Rp16.254 pada Rabu menjelang sesi Eropa, didorong oleh sentimen positif dari data penjualan ritel domestik. Meski begitu, secara keseluruhan tren rupiah masih dalam tekanan. Selama lima hari perdagangan terakhir, pergerakan pasangan mata uang USD/IDR didominasi candle hijau – menunjukkan pelemahan Rupiah secara bertahap terhadap Dolar AS. Meskipun tekanan terlihat mulai mereda, belum ada sinyal kuat pembalikan arah.

Penjualan Ritel Indonesia Membaik, Penjualan Mobil Anjlok Tajam

Dari dalam negeri, data terbaru menunjukkan Penjualan Ritel Indonesia tumbuh 1,9% (YoY) pada Mei 2025, membalikkan kontraksi 0,3% pada bulan sebelumnya dan melampaui ekspektasi pasar di 0,3%. Namun di sisi lain, penjualan mobil pada Juni justru anjlok sebesar 22,6% (YoY), jauh lebih dalam dari kontraksi 16,1% sebelumnya (direvisi dari -15,1%). Kontras ini menandakan pemulihan sektor konsumsi belum merata dan masih menyisakan tekanan di segmen barang tahan lama, yang turut memengaruhi persepsi pasar terhadap daya beli masyarakat.

Tarif Trump Tekan Indonesia, Ruang Negosiasi Masih Terbuka

Sentimen pasar juga tetap dibayangi dinamika global, terutama kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap negara-negara BRICS. Trump secara resmi menetapkan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia melalui surat resmi kepada pemerintah RI. Meski begitu, ia menyebut ruang negosiasi masih terbuka, terutama jika Indonesia bersedia membangun fasilitas manufaktur di AS. Sebagai respons, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dijadwalkan bertemu perwakilan pemerintah AS di Washington DC, usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRICS di Brasil.

Trump juga mengumumkan rencana tarif tambahan sebesar 10% terhadap seluruh negara anggota BRICS, termasuk Indonesia. Ia bahkan mengancam akan mengenakan tarif hingga 200% untuk obat-obatan asing dan 50% untuk tembaga – kebijakan yang dinilai dapat memicu eskalasi perang dagang global.

Dikutip dari Kompas, pengajar Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai tuntutan AS tak seluruhnya sejalan dengan kepentingan nasional. "AS ingin Indonesia menghapus hambatan nontarif seperti TKDN dan larangan ekspor bahan mentah, tapi tuntutan ini tidak sepenuhnya bisa diterima," ujarnya.

Pasar Waspada, Fokus Tertuju pada Risalah FOMC

Di tengah ketidakpastian perdagangan global, pelaku pasar kini mengalihkan perhatian ke rilis risalah rapat FOMC yang dijadwalkan pada sesi perdagangan AS malam ini. Investor berharap mendapatkan sinyal lebih jelas mengenai sikap Federal Reserve terhadap tekanan inflasi dan prospek pelonggaran kebijakan moneter. Investor kini juga memperhitungkan kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin pada akhir tahun, dimulai Oktober. Namun, laporan ketenagakerjaan AS untuk Juni yang lebih kuat dari ekspektasi telah meredam kekhawatiran perlambatan ekonomi, membuat peluang pemangkasan pada Juli dinilai minim.

Pertanyaan Umum Seputar Tarif

Meskipun tarif dan pajak keduanya menghasilkan pendapatan pemerintah untuk mendanai barang dan jasa publik, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Tarif dibayar di muka di pelabuhan masuk, sementara pajak dibayar pada saat pembelian. Pajak dikenakan pada wajib pajak individu dan perusahaan, sementara tarif dibayar oleh importir.

Ada dua pandangan di kalangan ekonom mengenai penggunaan tarif. Sementara beberapa berpendapat bahwa tarif diperlukan untuk melindungi industri domestik dan mengatasi ketidakseimbangan perdagangan, yang lain melihatnya sebagai alat yang merugikan yang dapat berpotensi mendorong harga lebih tinggi dalam jangka panjang dan menyebabkan perang dagang yang merusak dengan mendorong tarif balas-membalas.

Selama menjelang pemilihan presiden pada November 2024, Donald Trump menegaskan bahwa ia berniat menggunakan tarif untuk mendukung perekonomian AS dan produsen Amerika. Pada tahun 2024, Meksiko, Tiongkok, dan Kanada menyumbang 42% dari total impor AS. Dalam periode ini, Meksiko menonjol sebagai eksportir teratas dengan $466,6 miliar, menurut Biro Sensus AS. Oleh karena itu, Trump ingin fokus pada ketiga negara ini saat memberlakukan tarif. Ia juga berencana menggunakan pendapatan yang dihasilkan melalui tarif untuk menurunkan pajak penghasilan pribadi.

Bagikan: Pasokan berita

风险提示:本文所述仅代表作者个人观点,不代表 Followme 的官方立场。Followme 不对内容的准确性、完整性或可靠性作出任何保证,对于基于该内容所采取的任何行为,不承担任何责任,除非另有书面明确说明。

喜欢的话,赞赏支持一下
avatar
回复 0

加载失败()

  • tradingContest