Rupiah Stabil di Rp16.372, Properti Indonesia Melambat, Risiko Global Belum Mereda

avatar
· 阅读量 10
  • Kurs USD/IDR stabil menjelang sesi Eropa di Rp16.372, turun 0,09%.
  • Indeks harga properti melambat ke 0,90% YoY di kuartal 2 2025.
  • Pasar global bersiap hadapi kebijakan tarif AS yang lebih agresif mulai Kamis.

Laju rupiah menunjukkan kecenderungan bertahan di tengah arus global yang masih rapuh. Nilai tukar rupiah Indonesia (IDR) diperdagangkan stabil di Rp16.372 per dolar AS (USD) menjelang sesi Eropa hari Rabu, mencatat penurunan tipis 15 poin atau 0,09%. Di tengah pelemahan terbatas indeks dolar, sejumlah mata uang Asia mendapatkan ruang napas, termasuk rupiah yang sejauh ini mampu mempertahankan kestabilannya. Pasangan mata uang USD/IDR ditutup di 16.395 pada perdagangan kemarin, untuk hari ini harganya diprakirakan akan bergerak di kisaran Rp 16.365-Rp 16.400.

Ekspektasi terhadap sikap moneter The Fed menjadi titik fokus utama pelaku pasar. Setelah kenaikan indeks dolar di akhir Juli, tren penguatan mulai kehilangan momentum. Indeks DXY kini berkonsolidasi di kisaran 98,721, mencerminkan sikap pasar yang mulai menahan langkah sambil mencermati rilis data-data ekonomi AS yang cenderung campuran. PMI Jasa versi ISM turun ke 50,1, nyaris menyentuh ambang kontraksi, sementara indeks harga yang dibayar naik tajam ke 69,9 – menunjukkan tekanan inflasi belum mereda.

Harga Properti Melambat Di Tengah PDB yang Tumbuh di Atas Ekspektasi

Perlambatan terlihat pada sektor properti nasional, di mana indeks harga properti residensial tumbuh 0,90% YoY pada kuartal 2 2025 – melemah dari 1,07% pada kuartal sebelumnya. Kinerja ini mencerminkan masih terbatasnya permintaan, seiring sikap hati-hati konsumen dan pelaku pasar terhadap suku bunga serta ketidakpastian global. Namun demikian, prospek sektor ini tetap terjaga, ditopang oleh stabilitas makroekonomi dan tingkat suku bunga yang relatif terkendali.

Data ini hadir di tengah kabar positif dari rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih kuat dari ekspektasi. Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 5,12% YoY pada kuartal 2 2025, mengungguli konsensus pasar 4,8% dan naik dari 4,87% sebelumnya. Dari sisi triwulanan, ekonomi juga mencatat pemulihan solid 4,04% QoQ, membalikkan kontraksi -0,98% pada kuartal pertama – mengindikasikan fondasi pemulihan yang semakin menguat.

Pasar Bertahan di Tengah Ancaman Tarif, Indonesia Waspadai Imbas Global

Namun, tekanan dari luar belum sepenuhnya mereda. Presiden AS Donald Trump telah menegaskan bahwa kebijakan tarif bertingkat 10% hingga 50% akan mulai berlaku Kamis pagi waktu AS, dengan tarif rata-rata naik ke 15,2%. Meskipun Tiongkok disebut hampir mencapai kesepakatan penundaan, negara seperti India dan Swiss kini berlomba mencari celah untuk meredam lonjakan tarif atas ekspornya. Di sisi lain, Jepang dan Uni Eropa masih berupaya menegosiasikan pengecualian untuk produk tertentu.

Indonesia belum termasuk negara yang terdampak langsung, namun langkah Trump yang semakin agresif dalam proteksionisme global menambah tekanan terhadap aset negara berkembang. Selain potensi gangguan pada rantai pasok dan perdagangan, risiko pelemahan sentimen pasar juga menjadi pertimbangan strategis bagi investor dan otoritas ke depan.

Ke depan, pergerakan rupiah dan sektor domestik – termasuk properti – akan sangat dipengaruhi oleh interaksi antara ketahanan internal dan tekanan eksternal. Prospek pertumbuhan yang tetap positif menjadi modal penting. Namun arah kebijakan Bank Indonesia tetap krusial, terutama jika tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi meningkat. Untuk saat ini, pasar memilih bertahan, menanti sinyal yang lebih tegas, baik dari dalam negeri maupun dari Washington.

Pertanyaan Umum Seputar Sentimen Risiko

Dalam dunia jargon keuangan, dua istilah yang umum digunakan, yaitu "risk-on" dan "risk off" merujuk pada tingkat risiko yang bersedia ditanggung investor selama periode yang dirujuk. Dalam pasar "risk-on", para investor optimis tentang masa depan dan lebih bersedia membeli aset-aset berisiko. Dalam pasar "risk-off", para investor mulai "bermain aman" karena mereka khawatir terhadap masa depan, dan karena itu membeli aset-aset yang kurang berisiko yang lebih pasti menghasilkan keuntungan, meskipun relatif kecil.

Biasanya, selama periode "risk-on", pasar saham akan naik, sebagian besar komoditas – kecuali Emas – juga akan naik nilainya, karena mereka diuntungkan oleh prospek pertumbuhan yang positif. Mata uang negara-negara yang merupakan pengekspor komoditas besar menguat karena meningkatnya permintaan, dan Mata Uang Kripto naik. Di pasar "risk-off", Obligasi naik – terutama Obligasi pemerintah utama – Emas bersinar, dan mata uang safe haven seperti Yen Jepang, Franc Swiss, dan Dolar AS semuanya diuntungkan.

Dolar Australia (AUD), Dolar Kanada (CAD), Dolar Selandia Baru (NZD) dan sejumlah mata uang asing minor seperti Rubel (RUB) dan Rand Afrika Selatan (ZAR), semuanya cenderung naik di pasar yang "berisiko". Hal ini karena ekonomi mata uang ini sangat bergantung pada ekspor komoditas untuk pertumbuhan, dan komoditas cenderung naik harganya selama periode berisiko. Hal ini karena para investor memprakirakan permintaan bahan baku yang lebih besar di masa mendatang karena meningkatnya aktivitas ekonomi.

Sejumlah mata uang utama yang cenderung naik selama periode "risk-off" adalah Dolar AS (USD), Yen Jepang (JPY) dan Franc Swiss (CHF). Dolar AS, karena merupakan mata uang cadangan dunia, dan karena pada masa krisis para investor membeli utang pemerintah AS, yang dianggap aman karena ekonomi terbesar di dunia tersebut tidak mungkin gagal bayar. Yen, karena meningkatnya permintaan obligasi pemerintah Jepang, karena sebagian besar dipegang oleh para investor domestik yang tidak mungkin menjualnya – bahkan saat dalam krisis. Franc Swiss, karena undang-undang perbankan Swiss yang ketat menawarkan perlindungan modal yang lebih baik bagi para investor.

Bagikan: Pasokan berita

风险提示:本文所述仅代表作者个人观点,不代表 Followme 的官方立场。Followme 不对内容的准确性、完整性或可靠性作出任何保证,对于基于该内容所采取的任何行为,不承担任何责任,除非另有书面明确说明。

喜欢的话,赞赏支持一下
avatar
回复 0

加载失败()

  • tradingContest