Pasardana.id - Ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa (UE) merosot tajam. Pada tahun 2029, tercatat ekspor sebanyak 1,32 juta kiloliter, sedangkan tahun 2020 hanya 36 ribu kiloliter.
Bahkan hingga tahun 2024, ekspor biodiesel ini hanya mencapai 27 ribu kiloliter. Penurunan nilai ekspor ini diakibatkan karena adanya hambatan bea masuk.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendesak UE untuk segera mencabut bea masuk anti-subsidi atas biodiesel Indonesia. Apalagi, setelah World Trade Organization (WTO) memenangkan klaim yang diajukan Indonesia.
Dalam sebuah wawancara, yang dikutip pada Senin, (25/8), Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan bahwa kemenangan tersebut membuktikan komitmen Indonesia dalam menjalani hukum dan aturan internasional yang berlaku.
"Kemenangan ini membuktikan pemerintah Indonesia konsisten mematuhi aturan perdagangan internasional," ucap Budi.
Sebagai informasi, telah dibuktikan bahwa putusan bea masuk sebesar 8 hingga 16 persen yang diterapkan UE sejak 2019, melanggar aturan WTO.
Adapun sengketa berawal ketika Indonesia menggugat UE ke WTO pada 2023 atas dugaan pelanggaran aturan perdagangan internasional.
Dimana, UE memberlakukan bea masuk dengan alasan produsen biodiesel Indonesia mendapat subsidi dan insentif pajak.
Namun, panel WTO menyatakan bea ekspor dan pungutan sawit Indonesia tidak termasuk subsidi. Sementara UE gagal membuktikan adanya ancaman kerugian bagi produsen biodiesel Eropa.
Untuk itulah, pemerintah dalam hal ini Menteri Budi mendesak UE segera mencabut bea masuk yang tidak sesuai dengan regulasi WTO.
Meski putusan WTO dapat diajukan banding, Mahkamah Banding WTO tidak lagi beroperasi sejak 2019 akibat blokir Amerika Serikat. Kondisi inilah yang menjadikan pondasi kuat untuk RI dalam sengketa perdagangan dengan Uni Eropa.
加载失败()