Harga Minyak Turun, Masih di Jalur Kenaikan Mingguan 7%

• Harga minyak melemah: Brent turun 0,35% ke USD65,76 per barel, WTI turun 0,24% ke USD61,63, meski tetap berada di jalur kenaikan mingguan sekitar 7% setelah lonjakan sebelumnya.
• Sanksi baru AS terhadap Rosneft dan Lukoil memicu kekhawatiran pasokan global dari Rusia, mendorong backwardation pada kontrak enam bulan dan potensi gangguan aliran minyak ke India serta China.
• OPEC menyatakan siap menambah produksi untuk menutup kekurangan pasokan, sementara investor juga memantau pertemuan Trump-Xi sebagai upaya meredakan ketegangan perdagangan global.

Ipotnews -- Harga minyak melemah, Jumat, setelah melonjak pada hari sebelumnya, namun tetap berada di jalur kenaikan mingguan. Sentimen pasar terangkat sanksi baru Amerika terhadap dua raksasa energi Rusia, yang memicu kekhawatiran pasokan global terkait perang di Ukraina.
Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, turun 23 sen atau 0,35%, menjadi USD65,76 per barel pada pukul 14.30 WIB, demikian laporan  Reuters  dan  Bloomberg,  di New Delhi, Jumat (24/10).
Sementara, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), menyusut 16 sen atau 0,24%, ke posisi USD61,63 per barel.
"Minyak saat ini sedang menstabilkan diri, beberapa pelaku pasar mengambil untung, menunjukkan pasar tidak panik terhadap pasokan Rusia," ujar Vandana Hari, pendiri Vanda Insights, penyedia analisis pasar minyak.
"Sepertinya pasar memilih strategi menunggu dan melihat, hingga ada perkembangan baru yang bisa berupa eskalasi atau de-eskalasi. Saat ini pasar tampaknya berspekulasi pada de-eskalasi."
Kedua acuan minyak ini sebelumnya melejit lebih dari 5% pada penutupan Kamis, dan diproyeksikan mencatat keuntungan mingguan sekitar 7%, yang menjadi kenaikan terbesar sejak pertengahan Juni.
Pergerakan spread enam bulan untuk Brent dan WTI kembali ke backwardation--kondisi di mana kontrak jangka panjang diperdagangkan lebih murah dibanding kontrak jangka pendek--setelah sempat berada di contango. Hal ini menunjukkan pergeseran kekhawatiran trader dari kelebihan pasokan menjadi kekurangan pasokan, sehingga memungkinkan penjualan kontrak front month dengan harga lebih tinggi tanpa biaya penyimpanan.
Presiden AS Donald Trump menjatuhkan sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil, Kamis, untuk menekan Presiden Rusia Vladimir Putin menghentikan invasi ke Ukraina. Kedua perusahaan ini menyumbang lebih dari 5% produksi minyak global.
Sanksi tersebut membuat BUMN minyak China menangguhkan pembelian minyak Rusia sementara waktu, kata sumber perdagangan kepada  Reuters.  India, pembeli minyak Rusia terbesar, diperkirakan memotong impor minyak Rusia secara signifikan, menurut sumber industri.
"Aliran minyak ke India khususnya berada dalam risiko...Tantangan bagi perusahaan penyulingan China akan lebih terbatas, mengingat diversifikasi sumber minyak dan ketersediaan stok," ujar Janiv Shah, Vice President Rystad Energy.
Sementara itu, Menteri Energi Kuwait menyatakan OPEC siap menambah produksi untuk menutupi kekurangan pasokan. Pemerintah AS menyatakan siap mengambil tindakan lebih lanjut, sedangkan Putin mengecam sanksi tersebut sebagai tindakan tidak bersahabat dan menegaskan sanksi itu tidak akan berdampak signifikan pada ekonomi Rusia.
Inggris sebelumnya juga menjatuhkan sanksi ke Rosneft dan Lukoil, dan Uni Eropa menyetujui paket sanksi ke-19 terhadap Rusia, termasuk larangan impor gas alam Rusia. UE juga menambahkan dua penyuling China dengan kapasitas gabungan 600.000 barel per hari, serta Chinaoil Hong Kong, anak usaha PetroChina, ke daftar sanksi Rusia.
Data energi AS menunjukkan Rusia adalah produsen minyak mentah terbesar kedua dunia pada 2024, setelah Amerika Serikat.
Investor juga memantau pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pekan depan, sebagai upaya meredakan ketegangan perdagangan antara kedua negara dan mengakhiri serangkaian tindakan balasan yang saling dilakukan kedua pihak. (Reuters/Bloomberg/AI)

Sumber : Admin